Jumat, 18 November 2011

SAYA MARAH

Orang bijak bilang, tahan lidahmu saat marah.
Baiklah, saya tahan lidah, tapi saya sedang tak ingin menahan jari.
Jadi dengan jelas saya katakan, eh, tuliskan :
SAYA MARAH

Benar-benar marah hari ini.
Kepada banyak hal , ini, itu, anu….

Apa yang anda lakukan saat marah?
Cemberut, menangis, teriak-teriak, membentak, memukul?
Hal pertama yang saya lakukan pada saat marah adalah :
… diam...
dan kemudian MEMARAHI.
Karena bagaimana seseorang bisa tahu jika saya marah, kalo saya tidak memarahinya?
( Kecuali pada kekasih,saya menyisipkan “ngambek”, yang durasinya tak tentu, tergantung responnya J )

baiklah, saya akan memulai prosesi MEMARAHI kali ini.
Saya memejamkan mata, mengingat segala peristiwa yang terjadi pagi ini….
Staf saya mengadu, dimarahi orang Pusat.
Saya geram karena tidak seharusnya mereka memarahinya.
Saya geram karena jika ada kesalahan, seharusnya mereka bicara kepada saya.
Saya geram karena dituduh tidak bekerja seperti seharusnya.
Saya geram karena tuduhan itu tidak benar.
Saya geram karena saya harus menutupi sesuatu.
Saya geram karena tidak bisa mengungkapkan sejujurnya.
Saya geram karena mereka memperlakukan nama saya sesinis itu
Saya geram karena mereka marah secara personal
Saya geram karena saya tahu mereka pun sebenarnya tertekan
Saya geram karena tahu mereka tertekan dikarenakan “sesuatu”
Saya geram karena tahu “sesuatu” itu bisa jadi lebih baik jika saja kemarin saya dapat berbuat sedikit berbeda….

BAIKLAH.

Saya membuka mata, mengangkat kepala, mengatur napas yang tadi sempat memburu.
Tenang dan Tegas, saya menyampaikan : “Jadi, kamu paham kenapa saya marah? Dan apakah kamu, menyadari, dan tahu apa yang harus kau lakukan?”
Tersenyum lemah dan mengangguk.  Saya menyudahi  perenungan kali ini.
Iya, saya memang turut bersalah dalam hal ini. Marah saya sudah selesai. Sekarang yang saya pikirkan adalah bagaimana memperbaiki kesalahan ini.

Astaghfirullah… Ampuni saya ya Allah, telah turut membebani banyak orang.  Semoga Engkau mengangkat rasa takut dan tertekan dalam hati mereka,  juga memberikan ketentraman hati pada mereka-orang orang baik itu, sehingga dapat bekerja, berbuat dan berkata lebih menyenangkan.  Amin.

Ehm, lega. Tapi … bohong kalo saya bilang sudah benar-benar tidak marah, hehehe…

Masih ada sedikit, hanya sedikiiiit… Bismillah, semoga sebelum sore nanti, Allah merahmati saya dengan keikhlasan untuk melepaskan api kecil di hati saya ini.

Mana “amin”nya untuk sayaaaaa?
“AAAAMIIIIIN….!”



Rabu, 16 November 2011

Tiba-tiba saja...

15.30- ruang merah

Tiba-tiba saja
ingin mengucap cinta kepadamu...
Aku mencintaimu..iya, aku mencintaimu
Tak perlu engkau tahu. Tak ada bedanya bagiku.
Terima kasih sudah melengkapi, menggenapi
menutup lubang kosong di hati.

29…atau 28 hari lagi?
Akan menyenangkan jika kita bersama
Akan menikah ? Berpasangan, begitu mereka menyebutnya ya?
Aku lebih suka menyebutnya : ALIANSI
Karena bukankah kita, dengan segala perbedaan,
akan bekerja sama, mencapai moksa?

Pun jika tak juga bersama,
itu adalah keputusanNya
Tak peduli sebagus apa proposal yang aku punya
Sejatinya DIA lebih tahu mana yang terbaik untuk kita

Hak ku untuk menentukan hidupku
Hak mu untuk mengarahkan langkahmu

Perih mungkin datang.
Tapi bukankah kita terbukti cukup kuat untuk selamat dari luka masa lalu?
Setidaknya AKU merasa dan berharap untuk tetap sekuat biasanya.

Kamu tau? Hadirmu hangat , nyaman, seperti selimut bayi.
Bisa saja kita panas dan meledak-ledak seperti kembang api.
Tapi pilihan, dan keadaan untuk tidak dulu menyulut api
sepertinya lebih baik lagi.

Ah,kenapa jadi panjang…
Aku mencintaimu
AKU mencintaimu.




Jumat, 04 November 2011

Dalam Tidur #1

Aku berada di tempat terbuka yang luas, dikelilingi pepohonan. Kupicingkan lagi mataku…ah, itu pohon kelapa sawit. Tanah lapang berumput yang terbentang di depanku, dihiasi ilalang di beberapa sudutnya. Di tengah-tengah lapangan, banyak anak-anak sedang berkegiatan. Pramuka rupanya.

Kuterka, umur mereka sekitar 10 atau 11 tahun. Beberapa anak membawa ember-ember berisi air, beberapa sibuk mengikat tali pada tongkat bambu -  membuat tandu, beberapa gadis tampak kerepotan menyalakan api di tungku kayu, dan seorang anak laki-laki membantu mereka. Tunggu… aku mengenalnya…anak laki-laki itu… itu kamu.  

Itu adalah kamu versi belasan tahun yang lalu, ah, nyaris 20 tahun yang lalu. Kamu yang tak banyak bicara, kamu yang selalu membantu orang lain, kamu yang ketua regu, kamu yang…hehehe…kamu yang manis dan imut….

Aku ada dimana sih ini? Mimpi? Atau, aku baru saja melintasi lorong waktu? Kulayangkan pandang ke sekelilingku. Aku berada di tepi lapangan , di dekat sebuah bangunan rumah, bersama beberapa orang lainnya. Mereka seperti orangtua yang menunggui anak-anaknya pramuka di sore hari. Ada yang ngobrol, ada yang sibuk dengan bacaannya, ada yang hanya terkantuk-kantuk.

…drap drap drap…!!! “AAAAAAAAA….!!!!” terdengar suara derap langkah, disertai jeritan panjang memekakkan telinga. Aku menoleh..

Seekor bandot-kambing jantan, berlari memasuki lapangan. Bandot itu tampak gusar. Di atasnya, seorang anak perempuan duduk terbanting-banting sambil berpelukan pada badan si bandot. Aku tergelak melihatnya. Begitu juga dengan orang-orang di tepi lapangan. Gadis itu akhirnya terjatuh di tanah berrumput, dan si bandot melesat meninggalkannya. Anak perempuan berkulit gelap itu bangun. Membersihkan rumput kering dan tanah yang menempel di rok pramukanya. Beberapa orang dewasa ( mungkin pembina pramuka) berlari ke arahnya, terlihat khawatir, begitu juga beberapa anak lainnya. “Aku tak apa-apa, aku baik-baik saja!” katanya. DEG! jantungku berdegup. Semua orang yang tadinya berwajah khawatir tampak lega. Sepertinya ada yang mau memarahinya. Karena aku kemudian mendengarnya berkata : “maafkan aku, aku hanya ingin menaikinya saja, tidak akan menyakitinya…..”

Hahaha…aku memakluminya, aku dulu juga pernah begitu…

Hei, jangan-jangan ini…. Aku penasaran dengan anak perempuan yang membelakangiku itu, aku menunggunya menoleh, namun dia masih sibuk membersihkan bajunya, mengelus pinggulnya sambil sedikit mengaduh. Ditingkahi senyum geli teman-teman yang membantunya. Ayolah…ayolah…sebentaaar saja, aku membatin. Tunjukkan dirimu…

Seperti mendengar, dia pun menoleh, sepersekian detik menatap ke arahku, bukan, lebih tepatnya, pandangannya menyapu ke seluruh “penonton” yang tadi melihat aksinya itu. Saat dia menatapkau tadi, tidak ada tanda-tanda pengenalan. Namun aku sudah yakin. Aku sudah tahu, aku langsung paham, itu aku, di masa lalu.

Oke, jadi apakah ini? Mimpikah? Apapun ini, aku memutuskan menikmatinya.

Aku duduk di atas sebuah lincak bambu yang agak tinggi, yang dibangun  menempel dinding, sepanjang tepi bangunan satu-satunya di tepi lapangan itu. Aku duduk di ujung kanan lincak. Di kananku, masih ada beberapa orang berdiri, ada juga yang duduk di atas sepeda motor. Di kiriku, seorang perempuan dengan rambut dicat coklat pirang. Dia sepertinya sibuk dengan semacam HP, entah sedang apa, sekilas seperti asyik sms, atau mungkin bbm.

Baru saja aku akan melihat kearah lapangan lagi, perempuan itu mencondongkan badannya ke depan. Pandanganku tertahan oleh sosok yang kudapati ternyata berada di sebelah perempuan itu.

Kamu, bersender santai di dinding. Dengan topi dan tshirt putih, kamu yang dewasa menoleh ke arahku, tersenyum. Kulemparkan pandang penuh tanya, kamu tetap tersenyum.  Si mbak-rambut-coklat beranjak dan pergi. Meninggalkan ruang selebar setengah meter antara kamu dan aku.

Kau condongkan badan kearahku, berbisik : “Sudah kubilang, aku akan bawa kamu ke tempat kita melihat bahagia. Lihat kamu kecil barusan, lucu kan?”. Aku tersenyum., mengangguk kecil. Kamu semakin mendekat, membiarkan wajah kita, hanya berjarak tak lebih dari lima senti.

Aku memalingkan wajah, malu. Kamu menjauh kembali, ke posisi seperti sebelumnya, namun kini, tanganku tergenggam olehmu. Entah apa sebabnya, aku sedikit menarik tanganmu, dan kaupun mendekat…. Menyentuhkan bibirmu dengan bibirku. Aku terpejam, kau melakukannya lagi, kini kau mengecupku ringan, dan lagi dengan lembut. Aku menyambutmu, menikmati setiap detik waktu, merasakan setiap milimeter bibirmu… Aku merasakannya, sampai saat bulir airmata turun di pipi, aku mengakui, bahkan dalam mimpi pun, kau mampu menggemakan cinta….

                                                                

Kamis, 03 November 2011

Kebun Kopi 1

Aku melangkah memasuki ruangan, melewati pintu berdaun ganda. Kusen pintu itu tinggi sekali di atasku, membuatku merasakan sensasi "kecil" yang menyenangkan. Lampu di dalam sudah menyala. Terang seadanya, namun hangat, akrab. Kuedarkan pandang ke kamar yang luas ini.

Hampir di sudut, di dekat jendela, ada sebuah tempat tidur kayu besar. Berukir minimalis, namun dengan aura jawa kuno yang kental. Di atas tiangnya, tersampir kelambu dari belacu. Jika saja ini adalah property sebuah hotel atau villa bergaya jawa kuno, tentulah akan dihiasi dengan rangkaian melati oleh pemiliknya, ditambah lampu-lampu yang memendarkan cahaya remang yang hangat, atau juga lilin-lilin aromatheraphy warna warni.

Tapi ini bukan hotel, bukan pula sebuah villa atau spa. Ini hanyalah sebuah kamar di sebuah rumah tua. Rumah dengan dinding tebal, dan langit-langit tinggi. Lantainya semen hitam bersih mengkilat. Di luar sana, pintu-pintu terdengar berderit mengayun. Semua orang tampaknya bersiap memeluk malam.

Kuletakkan tasku di meja kayu kecil. Di atasnya, kuonggokkan jaketku, kemudian kerudungku. Mencoba duduk di atas kasur yang terihat tipis itu, ternyata sangat nyaman. Tanpa sadar aku merebahkan diri. Dan kantuk pun menyerang, mungkin karena terlalu letih. Baru saja mau terlelap…,
“Nggak pengen cuci muka dulu?
…Tidurmu akan lebih enak….”

Enggan, aku bangkit lagi. Kemudian menyadari bahwa kamar mandi berada nun jauh di luar sana. Berada di ujung bangunan tempat kami berada. Tanpa berkata apa-apa, dia menduluiku, berjalan ke arah kamar mandi, dan menungguku di depan pintu.

Kamar mandi yang unik. Luas dengan warna kuning pastel. Lubang anginnya terbuat dari roda pedati jaman dahulu. Bundar dan klasik. Tidak ada bak air, hanya ada bak mandi dari tembaga. Seperti panci besar berbentuk oval dan berkaki empat. Di dasarnya, sebuah lobang dengan tutup karet –sepertinya modifikasi belum terlalu lama-, di atasnya keran putar yang agaknya juga berasal dari jaman sekarang.

Kuputar keran air itu, menadah airnya dengan tanganku, dan membasuhkannya ke muka. Dinginnya sedikit menggigit, dan akhirnya membuat kebas kulit muka, tak lagi merasakan dingin udara.

Dia masih di luar pintu, menunggu. Sedikit bercanda, kujumput uang imajiner dari sakuku dan kugenggamkan ke tangannya, seperti pada penjaga toilet umum.Dia tergelak sebentar, lalu menawariku kopi atau wedang jahe. Kali ini,kopi, minuman favoritku kutinggalkan. Wedang jahe sepertinya lebih tepat di malam sedingin ini.

Kembali ke kamarku dan sejurus sejurus kemudian disusulnya dengan dua gelas besar minuman yang kepul panasnya saja terlihat begitu menggoda. Jahe untukku, dan kopi untuknya. Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan, tidak ada surel. Syukurlah… Dia membuka laptop. Seraut wajah yang tersenyum teduh, cantik, sedikit indo terpampang di layarnya. (Ah, Lila, semoga engkau tenang di alam sana). Dia memastikan semua surel baru terbaca dan akhirnya memutar musik, pelan saja, bahkan rasanya hanya seperti angin yang berbunyi…

Aku merebahkan diri, mencari sisi yang paling enak, dan akhirnya menemukan posisi yang paling nyaman di sisi kiri tempat tidur, dimana dinding hanya berjarak 4 jengkal dariku, dan cahaya lebih temaram.

“Istirahatlah dulu… hari ini kau pasti cape sakeli…” ujarku padanya.

Kupalingkan badanku saat dia membuka celana panjangnya, berganti dengan boxer Burberry berwarna marun tua. Dan terus pada posisi itu, ketika aku merasakan sedikit gerakan di kasur yang kutiduri, saat dia juga merebahkan diri.

Aku memejamkan mata, merindukan kantuk datang menyerang. Karena tak datang juga, aku berusaha memanjakan mataku, memandang langit-langit kelambu, mengikuti setiap lekuk dan relung ukiran di tiang penyangga…
Dia menepuk lembut lenganku, menggamitnya, dan kuberikan tanganku. Kami bergenggam tangan dalam diam. Dan tertidur dalam tangan yang masih saling menguatkan, aku di sisi kiri tempat tidur, dia agak di seberang.

Paginya, kudapati akulah yang telah merapatkan punggungku pada dadanya. Tangan kami tak lagi terjalin, karena lengan kirinya sudah menjadi bantalku dan lengan kanannya memeluk tubuh meringkukku.
Hangat….damai….
Aku menikmati dan menyecap setiap detik perlahan, penuh rasa. Sampai aku menyadari bahwa dengkur halusnya sudah berhenti dan tangannya sedikit ringan dan merenggang. Ya, pastilah dia sudah bangun…

Kutengadahkan wajah. Bukan…. aku bukan ingin mencari bibirnya. Hanya ingin memberinya senyum, tanpa suara, dan kembali merebahkan kepala di lengannya. Peluknya kembali merapat…. dan pagi itu, adalah pagi paling damai di hidup dewasaku.