Tadi pagi menjelang siang, saya tiba-tiba ingin membuat kopi ambon.
Menurut saya, akan jadi kemanjaan yang menyenangkan bagi lidah saya, di hari libur seperti ini.
Saya berbagi dengan seseorang tentang niat ini. “aku mau bikin kopi ambon”
“yang kayak apa?”
“itu kopi yang diseduh dengan air dingin, diaduk sambil dididihkan, ditambah kayu manis dan pala, trus dicampur susu kental manis.... jadinya pekat, manis dan berbumbu....”
“berbumbu?”
"Iya, beraroma rempah-rempah, spicy aroma kayu manis dan pala....”
“ga enak.”
Saya tertawa.... “untuk selingan, bolehlaaaaah....”
Bertampang keras kepala dia berujar singkat : “kopi semendo, palembang”
“ya terserah...” Saya bilang. “Tapi membuka diri sama yang baru itu, memperkaya lho....”
....
Memang begitu bukan?
Saya adalah penyuka kopi hitam. Hampir setiap pagi, ritual pagi saya adalah ngopi hitam (plus gula) dalam mug kesayangan. Enak. Tapi kadang cuma jadi seperti bagian dari ritual pagi saja. Kopi hitam jadi sesuatu yang tidak istimewa, namun tetap dihadirkan agar hari saya lengkap.
Sekali waktu, saya berpindah ke kopi hitam instan. Lebih ringan rasanya. Ini akan bertahan beberapa hari. Atau saya minum kopi dengan krimer (kalo yang ini paling banter berjalan 3 hari berturut-turut). Saya tidak bilang bahwa kopi hitam instan dan kopi krimer itu tidak enak. Namun saya tak bisa berlama-lama menghadirkan mereka dalam pagi saya. Beberapa hari kemudian, saya akan kembali pada kopi tubruk saya, yang hitam, kental dan manis.
Rasanya?
Tentu seperti kopi hitam saya biasanya TAPI DALAM LEVEL KENIKMATAN BEBERAPA TINGKAT DI ATAS BIASANYA !!!
Hahaha....entah karena kerinduan syaraf-syaraf saya akan sentuhan caffein kopi tubruk, atau kangen akut akan belaian rasa pahit manis yang nyegraknya asik itu,sehingga lidah saya otomatis membuat perbandingan dengan kopi kemaren yang “enteng” dan ecek-ecek itu, lidah saya jadi punya data lain untuk dikomparasikan dan menghasilkan kesimpulan untuk KEMBALI KE SELERA ASAL.
Kalo tidak diselingi, atau setidaknya, mencoba kopi lain, mungkin kopi biasa jadi akan terasa benar-benar biasa, tak ada pembanding, tak nampak istimewanya.
Atau, jika ternyata kita cocok sama kopi yang baru, bolehlah kita berpindah ke lain kopi, hehehehe....
LALU ....BAGAIMANA JIKA ITU ADALAH HATI? PERASAAN?
Bisa saja sama. Yang beda cuma di resiko. Kalo kopi, tidak cocok, bisa kembali pada yang lama. Kalau hati....mmm....tidak semudah itu kembali pada hati yang ditinggalkan saat kita sedang ingin “mencoba” hati yang lain bukan?
Sejujurnya saya setuju jika hati dianalogikan dengan kopi. Ingin rasanya saya sampaikan pada kekasih : carilah di luar sana, kamu tak akan temukan hati sebaik hatiku untukmu... Hehehehe
Bagaimana tidak, saya ini mencintainya. Tapi dia seolah menganggap enteng saya, tak pernah sekalipun saya diakui di dunianya. Entah kenapa.... Yang paling parah, dia masih mengungkapkan kerinduan kepada mantan, entah bualan entah nyata, kepada publik. Rasanya jangan ditanya....
Loooh, kok jadi curhat??? Ya gapapa....wong ini blog saya, hahaha....
Kenapa saya bertahan? Hhmmmm...tidak bisa dijabarkan secara pasti alasannya. Sebuah tujuan baik menjadi landasan saya, selain rasa sayang yang belum pernah luntur ( mungkin kualitasnya original, bukan kw super, dan kw kw lainnya).
Dan akankah saya menyampaikan ini padanya? Tidakkah saya takut ia benar-benar akan menemukan yang lebih baik? Dan meninggalkan saya?
Akan tiba saatnya baginya untuk mendengar itu dari saya. Saat saya sudah tak tahan dengan egoismenya. Dengan ketidakberaniannya mengatasi kegelisahannya. Dengan tidak dihargainya saya secara layak.
Takutkah saya?Ini demi saya dan harga diri juga kok. Mari kita sebut itu : RESIKO. Resiko akan ditanggung saya, dan juga DIA. Saya yang mungkin tak akan bersamanya lagi, dan dia yang TIDAK AKAN MUNGKIN bisa bersama saya lagi kalau berani menempuh pencarian hati lagi, wakakakakak !!! (ini baru egoisme saya ^^ )
Jadi kekasihku, mari kita bersiap dan berbenah. Carilah pembanding dimanapun, dan menyesallah di kemudian hari...Haduh, seram betul, sungguh mengancam...
Ralat...
Mari berbenah, semoga tak perlu aku dan kau, mencicipi kopi yang lain, hanya untuk tersadar bahwa kita adalah yang terbaik. Belajarlah menghargaiku, cinta...
Maaf ya, curhatnya kepanjangan. Jadi kembali ke teman-teman, apa yang bisa diambil dari postingan kali ini? Resep kopi? Oke... Analogi kopi? Silahkan.... Apa saja deh, semoga bisa menjadi pengisi hari.
Yaaaaah.... kopi ambon saya sudah habis diseruput, selama penulisan postingan ini. Hhmmm kopi yang enak, pahit,manis, gurih, spicy namun soft... Dan juga membuahkan kontemplasi... ! Coffee of the Week iniiiii !!! Tepuk tangan sodara-sodara... (prok prok prok....)