Kamis, 03 November 2011

Kebun Kopi 1

Aku melangkah memasuki ruangan, melewati pintu berdaun ganda. Kusen pintu itu tinggi sekali di atasku, membuatku merasakan sensasi "kecil" yang menyenangkan. Lampu di dalam sudah menyala. Terang seadanya, namun hangat, akrab. Kuedarkan pandang ke kamar yang luas ini.

Hampir di sudut, di dekat jendela, ada sebuah tempat tidur kayu besar. Berukir minimalis, namun dengan aura jawa kuno yang kental. Di atas tiangnya, tersampir kelambu dari belacu. Jika saja ini adalah property sebuah hotel atau villa bergaya jawa kuno, tentulah akan dihiasi dengan rangkaian melati oleh pemiliknya, ditambah lampu-lampu yang memendarkan cahaya remang yang hangat, atau juga lilin-lilin aromatheraphy warna warni.

Tapi ini bukan hotel, bukan pula sebuah villa atau spa. Ini hanyalah sebuah kamar di sebuah rumah tua. Rumah dengan dinding tebal, dan langit-langit tinggi. Lantainya semen hitam bersih mengkilat. Di luar sana, pintu-pintu terdengar berderit mengayun. Semua orang tampaknya bersiap memeluk malam.

Kuletakkan tasku di meja kayu kecil. Di atasnya, kuonggokkan jaketku, kemudian kerudungku. Mencoba duduk di atas kasur yang terihat tipis itu, ternyata sangat nyaman. Tanpa sadar aku merebahkan diri. Dan kantuk pun menyerang, mungkin karena terlalu letih. Baru saja mau terlelap…,
“Nggak pengen cuci muka dulu?
…Tidurmu akan lebih enak….”

Enggan, aku bangkit lagi. Kemudian menyadari bahwa kamar mandi berada nun jauh di luar sana. Berada di ujung bangunan tempat kami berada. Tanpa berkata apa-apa, dia menduluiku, berjalan ke arah kamar mandi, dan menungguku di depan pintu.

Kamar mandi yang unik. Luas dengan warna kuning pastel. Lubang anginnya terbuat dari roda pedati jaman dahulu. Bundar dan klasik. Tidak ada bak air, hanya ada bak mandi dari tembaga. Seperti panci besar berbentuk oval dan berkaki empat. Di dasarnya, sebuah lobang dengan tutup karet –sepertinya modifikasi belum terlalu lama-, di atasnya keran putar yang agaknya juga berasal dari jaman sekarang.

Kuputar keran air itu, menadah airnya dengan tanganku, dan membasuhkannya ke muka. Dinginnya sedikit menggigit, dan akhirnya membuat kebas kulit muka, tak lagi merasakan dingin udara.

Dia masih di luar pintu, menunggu. Sedikit bercanda, kujumput uang imajiner dari sakuku dan kugenggamkan ke tangannya, seperti pada penjaga toilet umum.Dia tergelak sebentar, lalu menawariku kopi atau wedang jahe. Kali ini,kopi, minuman favoritku kutinggalkan. Wedang jahe sepertinya lebih tepat di malam sedingin ini.

Kembali ke kamarku dan sejurus sejurus kemudian disusulnya dengan dua gelas besar minuman yang kepul panasnya saja terlihat begitu menggoda. Jahe untukku, dan kopi untuknya. Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan, tidak ada surel. Syukurlah… Dia membuka laptop. Seraut wajah yang tersenyum teduh, cantik, sedikit indo terpampang di layarnya. (Ah, Lila, semoga engkau tenang di alam sana). Dia memastikan semua surel baru terbaca dan akhirnya memutar musik, pelan saja, bahkan rasanya hanya seperti angin yang berbunyi…

Aku merebahkan diri, mencari sisi yang paling enak, dan akhirnya menemukan posisi yang paling nyaman di sisi kiri tempat tidur, dimana dinding hanya berjarak 4 jengkal dariku, dan cahaya lebih temaram.

“Istirahatlah dulu… hari ini kau pasti cape sakeli…” ujarku padanya.

Kupalingkan badanku saat dia membuka celana panjangnya, berganti dengan boxer Burberry berwarna marun tua. Dan terus pada posisi itu, ketika aku merasakan sedikit gerakan di kasur yang kutiduri, saat dia juga merebahkan diri.

Aku memejamkan mata, merindukan kantuk datang menyerang. Karena tak datang juga, aku berusaha memanjakan mataku, memandang langit-langit kelambu, mengikuti setiap lekuk dan relung ukiran di tiang penyangga…
Dia menepuk lembut lenganku, menggamitnya, dan kuberikan tanganku. Kami bergenggam tangan dalam diam. Dan tertidur dalam tangan yang masih saling menguatkan, aku di sisi kiri tempat tidur, dia agak di seberang.

Paginya, kudapati akulah yang telah merapatkan punggungku pada dadanya. Tangan kami tak lagi terjalin, karena lengan kirinya sudah menjadi bantalku dan lengan kanannya memeluk tubuh meringkukku.
Hangat….damai….
Aku menikmati dan menyecap setiap detik perlahan, penuh rasa. Sampai aku menyadari bahwa dengkur halusnya sudah berhenti dan tangannya sedikit ringan dan merenggang. Ya, pastilah dia sudah bangun…

Kutengadahkan wajah. Bukan…. aku bukan ingin mencari bibirnya. Hanya ingin memberinya senyum, tanpa suara, dan kembali merebahkan kepala di lengannya. Peluknya kembali merapat…. dan pagi itu, adalah pagi paling damai di hidup dewasaku. 

4 komentar:

  1. hore, akhirnya pede juga, posting penggalan cerita kebun kopi. masih banyak penggalannya. nmr yg ada di belakang judul, adalah nomor postingnya, bukan urutan cerita. selamat menikmati, (kalo ada yang mau menikmati). selamat mengoreksi , sekali lagi kalo ada yang mau repot-repot mengoreksi. salam.

    BalasHapus
  2. lha endi terusane?? penonton kecewaaa...

    BalasHapus
  3. Terusan? Tentunya masih banyaaaaak.... Dan ini, juga bukan awal kisahnya kok. Cuma chapter yang ditampilkan acak... Makasih udah baca, semoga layak dinikmati... Nantikan lanjutannya... ^^

    BalasHapus
  4. jempol..
    ditunggu tulisan selanjutnya.

    BalasHapus